SAKULA BUDAYA, PENGENALAN BUDAYA BAGI GENERASI MUDA
Berikut adalah bincang-bincang menarik mengenai Sakula Budaya serta bagaimana pengenalan budaya bagi generasi muda oleh Bapak Kusni Sulang.
Apa yang menjadi latar belakang Bapak sehingga dipandang perlu untuk mendirikan Sakula Budaya, serta adakah syarat untuk menjadi siswa dari Sakula Budaya serta Jenjang Pendidikan yang diharapkan oleh Bapak dari Sekolah Budaya tersebut?
Ide pembentukan dan penyelenggaraan Sakula Budaya muncul untuk pertama kali dalam Rapat Besar seluruh warga desa yang cukup umur Tumbang Mantuhe, Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, tahun 2017. Keputusan pumpung haidesa Mantuhe ini juga diikuti oleh keputusan pumpung hai- pumpung hai di desa-desa lain. Jadi ide mendirikan Sakula Budaya adalah ide warga desa, bukan ide saya. Benar, bahwa saya hadir dalam pumpung hai-pumpung hai dan turut membantu pelaksanaan Sakula Budaya Angkatan Pertama. Tapi semuanya itu bisa terlaksana karena partisipasi banyak pihak.
Rapat Besar seluruh warga desa yang cukup umur untuk membicarakan dan menangani masalah-masalah besar yang merupakan tradisi lama di kalangan masyarakat Dayak Ngaju Kalteng, merupakan bentuk demokrasi langsung ala Dayak yang disebut pumpung hai. Tradisi demokrasi langsung ini kembali hidup sejak Era Reformasi.
Pumpung hai desa Tumbang Mantuhe melihat adanya bahaya melemahnya, ketidakacuhan terhadap kebudayaan sendiri di kalangan angkatan muda, hingga kemudian melenyap, dikalahkan oleh apa yang mereka namakan ‘modernisasi’. Kebudayaan milik diri sendiri dipandang sebagai kebudayaan ketinggalan zaman. Kelanjutan dari pandangan begini, menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu pun malu. Menggunakan bahasa Banjar dan atau bahasa Indonesia, bahkan sedikit sedikit bahasa Inggris atau asing lainnya, merasa gengsi diri sudah meningkat. Keadaan begini saya namakan sebagai bunuh diri budaya.
Keadaan demikian tidak bisa dibiarkan. Kalau berbicara tentang pelestarian dan pengembangan budaya dalam arti luas, terutama sistem nilai sebagai inti kebudayaan, perlu langkah kongkret bagaimana ide pelestarian dan pengembangan dilakukan. Dengan pelestarian, hal-hal yang sudah dimiliki bisa terjaga dan dijadikan modal upaya pengembangan sehingga kebudayaan menjadi zamani atau tanggap zaman. Yang zamani atau tanggap zaman inilah sebenarnya yang disebut modern, bukan kebudayaan Barat atau budaya lain dari luar. Hal-hal positif dalam pengertian berguna untuk daerah atau Indonesia, kita ambil seperti halnya kita mengambil unsur-unsur positif dari kebudayaan diri sendiri. Cara pengembangan kebudayaan seperti ini saya namakan merode dua pemaduan. Keberagaman dengan demikian menjadi suatu kekayaan bagi daerah dan atau bangsa, karena bahan acuan menjadi kian banyak. Sikap terbuka , bukan tutup pintuisme memungkinkan keberagaman ini mempunyai manfaat. Dua pemaduan dan sikap terbuka tidak bisa dipisahkan.
Selain ada gejala bunuh diri budaya dan keterputusan budaya, hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah keterputusan sejarah. Untuk mengatasi hal ini dipandang mutlak ada matapelajaran sejarah lokal, terutama desa atau tempat di mana Sakula diselenggarakan. Dengan cara ini selain Sakula mewariskan cerita-cerita rakyat, peserta didik juga tahu sejarah daerahnya atau desanya. Secara kabupaten, penu;isan sejarah desa ini akan membantu penyusunan sejarah kabupaten yang padan. Sejarah kabupaten yang padan akan menjadi bahan dalam penulisan sejarah provinsi, dari provinsi ke sejarah nasional sehingga sejarah Indonesia tidak menjadi Jawa-Sentris.
Dengan latar belakang keadaan dan pikiran di atas, maka Sakula Budaya (Sakula, bhs Dayak Ngaju= Sekolah), sebuah sekolah informal tanpa jenjang, tapi bertujuan mewariskan khazanah budaya diri sendiri terutama Angkatan Muda yang kuat memperlihatkan budaya tak acuh (culture of indifference). Yang terpenting dalam Sakula Budaya ini adalah menyebarkan dan keterampilan serta ide-ide atau nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran seperti pada seni bela diri, tari manasai, cerita-cerita rakyat, dll.
Indikator keberhasilan atau kegagalan, diukur dari tingkat pemahaman dan penguasaan atas isi kurikulum yang ditransferkan. Misal : seni bela diri, apakah peserta memahami filosofinya, apakah mereka bisa memperagakannya. Kurikulum untuk desa atau daerah satu dengan yang lain disesuaikan dengan daerah atau desa tersebut. Karena itu sebelum Sakula diselenggarakan perlu melakukan survei menyeluruh hingga penyelenggara mengenal keadaan daerah atau desa tersebut secara relatif baik.
Dengan tujuan seperti di atas, maka peserta didik adalah semua mereka yang mau, tanpa Batasan jenjang pendidikan. Tentu saja Sakula untuk anak-anak berbeda dengan Sakula untuk orangorang dewasa. Kurikulum untuk orang dewasa ditentukan oleh keadaan dan permasalahan yang dihadapi di desa atau daerah itu. Untuk menyusun kurikulum Sakula bagi orang dewasa sekali lagi diperlukan survei menyeluruh dan penyelenggaraan partisipatif.
Barangkali untuk pemangku adat, perlu diselenggarakan Sakula Budaya semacam ini dengan kurikulum khusus. Diperlukan karena tidak sedikit para pemangku adat yang sesungguhnya awam dalam pengertian pengetahuan terhadap adat dan hukum adat, lebih-lebih jika dilihat dari segi penguasaan terhadap sistem nilai. Terpilihnya pemangku adat sering terjadinya karena pembentukan mayoritas, bukan karena yang terpilih adalah orang tepat pada tempat yang tepat.
Tentang jenjang kelas-kelas Sakula, jenjang itu ada jika dilihat dari tingkat usia peserta.
Berangkat dari pandangan-pandangan di atas, saya kira ide Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi, Adiah Chandra Sari, SH, MH, agar di Kalteng paling tidak tiap kabupaten mempunyai satu Sakula Budaya, merupakan ide strategis menjangkau jauh. Saya membayangkan jika mimpi membangun kebudayaan dari pinggir ini terwujud perkembangan kebudayaan di Kalteng akan berkembang pesat yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Agar tujuan penyelenggaraan Sakula terkonsolidasi perlu dibentuk organisasi kebudayaan setempat yang dikelola oleh orang desa atau daerah setempat. Dikhawatirkan, tanpa dikonsolidasi, hasil Sakula akan menguap begitu saja.
Mengingat Kebudayaan beraneka ragam di Kalteng banyak sekali, bagaimana cara untuk memperkenalkan budaya kepada generasi sekarang?
Dari segi keragaman etnik, Kalteng bisa dikatakan sebagai Mini Indonesia, hampir semua etnik penting di negeri kita terdapat di provinsi ini. Dayak sendiri sangat beragam. Kalau saya mengatakan ‘Kebudayaan Kalteng’ maka yang saya maksudkan adalah semua kebudayaan yang ada di Kalteng, termasuk yang non-Dayak. Keragaman etnik ini saya rumuskan dalam istilah “Uluh Kalteng” (Orang Kalteng). Pembauran antar Uluh Kalteng diharapkan bisa melahirkan budaya yang beridentitas Kalteng. Dasar dari identitas Kalteng ini adalah budaya Uluh Itah, sebutan bagi Orang Dayak. Perpaduan antara budaya Dayak sebagai dasar dengan budaya-budaya non-Dayak inilah diharapkan akan melahirkan budaya hibrida bernama Budaya
Uluh Kalteng. Untuk itu seyogyanya yang non-Dayak mempelajari budaya Dayak, dan yang Dayak membuika diri untuk mengenal budaya-budaya non- Dayak. Dalam konteks ini, eksperimen menciptakan Wayang-Kalteng yang pernah ditayangkan di TVRI Kalteng atut dikembangkan.
Dalam upaya mewujudkan gagasan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng ini, apakah tidak sebaiknya jika Festival Budaya Isen Mulang, dilibatkan seluruh etnik yang ada di Kalteng, sehingga festival tahunan itu bukan hanya budaya Dayak tapi seluruh unsur budaya Kalteng.
Saya keragaman budaya inilah yang patut diketahui dan diperkenalkan kepada Angkatan Muda dan dijadikan dasar membangun Budaya Kalteng Beridentitas Kalteng. Sakula Budaya merupakan cara kongkret menunju ke arah tersebut. Jika hal ini diharapkan etnik-etnik dan organisasi-organisasinya
tidak lagi menjadi benteng-benteng saling berhadapan, melainkan menjadi benteng-benteng kesatuan-kesatuan pejuang pemajuan Kalteng dalam berbagai bidang menggunakan pendekatan kebudayaan.
Bapak lama tinggal di Perancis, menurut pengamatan Bapak adakah pola untuk mengajarkan, memperkenalkan Budaya di Perancis dan di Kalteng kepada Generasi sekarang hingga bangga dan cinta kepada budayanya berbeda?
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan besar lain yang bisa diuraikan panjang lebar, hal yang tidak mungkin dilakukan ada kesempata ini dengan ruang yang terbatas. Yang bisa saya katakan bahwa keadaan di Indonesia dan Perancis sangat jauh berbeda. Di Perancis kebudayaan diurus oleh Kementerian Kebudayaan khusus. Pemerintah aktif mengembangkan dan melindungi kebudayaan nasional dengan 1001 cara; kesadaran akan kebudayaan nasional ditanam sejak dini, termasuk penumbuhan dan pengembangan barisan penulis. Karena pikiran merupakan sari kebudayaan, maka berpikir kritis sejak sangat dini disemai. Anak-anak Paud diajar bertanya ‘mengapa’ artinya belajar berpikir logis. Karena itu mata pelajaran filsafat hingga SMA merupakan matapelajaran utama. Apakah pola pendidikan seperti ini berlangsung di negeri kita?
Kongres Kebudayaan Kalteng yang digagas oleh Badan Pelestarian Kebudayaan Kalteng dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi –semoga mendapat dukungan penuh Pemerintah Provinsi – menjadi
kesempatan untuk mendiskusikan pertanyaan ini dan soal-soal strategis kebudayaan lainnya lebih mendalam. (sumber: charming central kalimantan)
Kusni Sulang
Sastrawan Senior Kalteng. Penulis, PenggagasSekolah Budaya di Kab.Gunung Mas